Setiap kota punya cerita. Di Banjarbaru, cerita itu dirangkum dalam satu kata penuh ambisi: "Juara". Sebuah visi yang berarti Maju, Agamis, dan Sejahtera. Namun, di antara gedung-gedung pemerintahan yang baru dan denyut nadi ibu kota provinsi, ada satu aspek "Sejahtera" yang seringkali menuntut perjuangan senyap: lingkungan yang sehat.
Bayangkan Anda berdiri di Lapangan Murdjani saat pagi hari, menghirup udara yang (semoga) segar. Atau membayangkan aliran air sungai di pinggir kota yang jernih. Ini bukan kemewahan, ini adalah hak. Tapi di kota yang terus bertumbuh, hak ini adalah sebuah pekerjaan rumah yang tak pernah selesai. Ada sampah yang harus diangkut, limbah industri yang harus diawasi, dan ruang hijau yang harus dipertahankan.
Inilah panggung di mana Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Banjarbaru memainkan peran utamanya. Mereka adalah para penjaga di balik layar dari visi "Juara" itu.
Dulu, mungkin kita bertanya-tanya, apa sebenarnya yang mereka kerjakan? Kita mungkin hanya melihat truk sampah yang lewat atau petugas yang membersihkan taman. Interaksi kita dengan mereka mungkin sebatas itu, atau lebih buruk lagi, hanya saat kita perlu mengurus izin lingkungan yang rumit dan berbelit. Birokrasi terasa seperti tembok tinggi.
Tapi, cerita itu mulai berubah.
Saya menemukan sebuah pintu digital. Sebuah jendela yang memungkinkan kita mengintip, bertanya, dan bahkan berpartisipasi dalam narasi besar menjaga Banjarbaru. Ini bukan sekadar kantor, ini adalah sebuah komitmen yang hadir 24 jam sehari dalam bentuk sebuah portal web.
Saat saya menelusurinya, saya tidak menemukan jargon birokrasi yang kaku. Saya menemukan sebuah alur. Di sana, saya bisa melihat wajah-wajah di balik struktur organisasi; mereka bukan lagi "dinas" yang abstrak, tapi orang-orang dengan nama dan tanggung jawab. Saya bisa membaca rencana strategis mereka—janji publik tentang apa yang akan mereka capai.
Lebih dari itu, saya membayangkan diri saya sebagai seorang pelaku usaha kecil. Dulu, kata "AMDAL" atau "UKL-UPL" adalah momok yang menakutkan. Kini, saya bisa duduk di rumah, membuka portal itu, dan menemukan semua alur, syarat, dan formulir yang saya butuhkan. Transparansi ini memotong kabut kebingungan.
Lalu, saya berganti peran menjadi warga biasa yang peduli. Suatu hari saya melihat tumpukan sampah liar di tepi jalan yang tak kunjung diangkut. Rasa frustrasi muncul. Dulu, saya mungkin hanya bisa menggerutu di media sosial. Sekarang, saya melihat ada jalur "Pengaduan". Saya bisa mengirim laporan, lengkap dengan foto, langsung ke jantung sistem mereka. Saya tidak lagi berteriak ke ruang hampa; saya memberikan data.
Di sinilah cerita menjadi semakin menarik. Di bagian "Berita" dan "Galeri", saya tidak hanya membaca pengumuman. Saya melihat kisah-kisah kecil yang membangun narasi besar: anak-anak sekolah yang belajar memilah sampah lewat program Adiwiyata, petugas yang berjibaku membersihkan sungai, atau inovasi baru di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Ini bukan lagi hubungan satu arah antara pemerintah dan warga. Ini adalah sebuah undangan untuk kolaborasi. DLH Banjarbaru seakan berkata, "Ini adalah pekerjaan kita bersama. Kami akan tunjukkan apa yang kami lakukan, kami akan permudah urusan Anda, dan kami butuh mata serta telinga Anda di lapangan."
Visi "Banjarbaru Juara" tidak akan terwujud hanya dengan infrastruktur yang megah. Ia terwujud dari udara yang kita hirup, air yang kita gunakan, dan kesadaran kolektif bahwa kota ini adalah rumah kita. Portal digital itu adalah bukti bahwa DLH Banjarbaru serius mengawal visi tersebut, menjadikannya sebuah cerita yang transparan dan partisipatif, yang bisa Anda akses kapan saja di https://dlhbanjarbaru.id/.
